Italia dan Kamar Mandi

  • 0
Kali ini mantan saya bernama Riko. Dia lahir tujuh tahun sebelum rezim Soeharto runtuh. Lantas kini menjadi mahasiswa yang semoga saja tidak abadi. Hobinya motret saya, lalu hasilnya diedit sedemikian cantik hingga orang tidak kenal kalau itu foto saya. Semalam dia telepon. Katanya kangen. Padahal paginya dia sudah telepon. Tapi tidak saya angkat.

Riko bercerita bahwa ia mendaftar untuk mengikuti kelas pelatihan fotografer di laman internet yang saya lupa namanya. Alamat websitenya fotografer.net kalau tidak salah. Syaratnya hanya mengisi formulir dan mengirimkan tiga foto bertema human interest, landscape, dan foto terbaik yang pernah di ambil (saya kecewa foto terbaik itu bukan foto saya). Peserta yang dipilih hanya lima dari entah berapa ekor umat yang mengirim CV dan hasil karya.

Dua minggu kemudian dia mendapat telepon dari seorang wanita yang dikira mau menarik tagihan pembayaran speedy. Ternyata wanita itu adalah suruhan Malaikat Mikail yang dikirim untuk memberitahu Riko bahwa ia terpilih sebagai pemenang dari barangkali jutaan manusia penggila foto yang mengikuti kontes tersebut. Bagi yang belum tahu, Malaikat Mikail adalah malaikat yang bertugas membagi rezeki dalam kepercayaan umat Islam. Dan tentu ini adalah rezeki yang besar.

Setelah mendapat kabar menggembirakan itu, Riko langsung membaca ulang perihal teknis yang menyangkut tempat, jadwal, dan hal-hal lainnya yang belum sempat ia baca ketika dulu mendaftar. Betapa terkejutnya, ternyata masa pelatihan berlangsung selama dua bulan dan diselenggarakan di Universitas De Rome, Italia. Peserta diambil dari 17 negara dan masing-masing negara mengirimkan 5 delegasi. Mendapat tiket pesawat pulang pergi dan biaya hidup selama dua bulan ditanggung penuh. Dengan kata lain, pelatihan ini gratis seperti udara yang kita hirup. Ah.. saya merinding saat menuliskan ini.

Sebagai mantan yang cantik tentu saya ikut senang dan turut bangga. Jika saya jadi Riko, saya pasti akan segera mengurus hal-hal yang menyangkut pemberangkatan. Passport, visa, memperdalam bahasa inggris (italia juga dikit-dikit) akan saya peroleh dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagaimanapun caranya. Andaikan saya jadi Riko…

Tapi Riko tidak seantusias saya yang cuma jadi penonton. Riko bertanya, mau dapat uang darimana untuk sangu? Ia bingung bagaimana mendapat uang untuk mengurus passport dan visa. Perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan memaksanya mencari dana sendiri untuk pegangan saat nanti di negeri orang. Selain itu, ia juga tidak percaya diri dengan bahasa inggrisnya yang tidak lancar dan mungkin takut tidak sanggup beradaptasi di sana. Lima hari terlewati sejak mendapat kabar dari wanita misterius itu, dan ia belum mengambil tindakan.

Saya jadi teringat dengan tulisan guru besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Menurut beliau, hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula mulai bertanya uangnya darimana, maka hampir pasti jawabannya adalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Padahal dunia yang terbuka bisa menawarkan sejuta kesempatan untuk maju.

Beruntunglah pertanyaan seperti itu tak pernah ada dalam kepala pelancong, diantaranya adalah mahasiswa yang menyebut diri mereka kelompok backpacker. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan murah. Menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang jika kekurangan uang akan bekerja sebagai tukang cuci piring. Mereka yang tak punya ongkos pulang akan rela nggandol di bagian belakang truk. Tapi sangat jelas pengetahuan, wawasan, dan kedewasaan mereka adalah apa-apa yang belum pernah kita bayangkan. Selain kaya teori, mata mereka juga tajam mengendus peluang dan memiliki rasa percaya diri tinggi.

Untuk masalah bahasa dan hidup, kita tidak akan pernah bisa fasih berbahasa manapun jika tidak pernah bercakap dan hidup bersama si pemilik bahasa. Lihat saja TKW yang pendidikannya lebih rendah dari mahasiswa, bahasa inggrisnya sudah jauh melampaui dosen. Sebelum mereka bisa lancar menggunakan bahasa inggris, tentu bahasa tubuh dan isyarat menjadi alat komunikasi. Toh mereka tetap hidup dan akhirnya lancar sendiri.

Pergi keluar negeri sebenarnya tidak jauh beda seperti ketika kita akan pergi mandi. Kita tidak perlu berpikir apakah di dalam sana sudah tersedia sabun, odol, dan shampoo. Kita hanya perlu masuk dan melihatnya. Jika tidak ada, ya sudah mandi saja. Yang penting basah dulu. Nanti kalau mau mandi lagi, kita bisa tahu harus membawa apa. Apabila kita terlalu takut tidak menemukan sabun, odol, dan shampoo, lalu kapan kita tahu rasanya mandi?

Alm. Bob Sadino pun pernah berkelakar bahwa orang bodoh biasanya lebih berani dibanding orang pintar, kenapa? Karena orang bodoh sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang pintar terlalu banyak pertimbangan. Orang yang terlalu banyak berpikir akan berat melangkah. Dan kebanyakan hanya berakhir diam di tempat.

Barangkali Riko memiliki penilaian bahwa ini hanyalah sebuah pelatihan biasa yang tak menjanjikan apa-apa ketika usai. Tapi pergi ke Italia untuk mengikuti pelatihan selama dua bulan secara gratis tentu bukan hal biasa bagi orang yang haus melihat dunia. Anggaplah pelatihan ini tidak turut andil membentuk visi seseorang, mereka hanyalah perantara. Tapi cobalah lihat besar peluang yang bisa didapatkan melalui pintu ini. Memasuki sebuah pintu tak lantas mempertemukan kita pada sebuah jalan buntu. Cakrawala tak sesempit itu.

Rik, kita sama-sama belum pernah ke Italia. Aku mengamini bahwa uang bisa dicari, tapi kesempatan tak pernah berjanji untuk datang berkali-kali. Semoga kamu akan berani pergi ke Itali seperti kamu begitu santai masuk kamar mandi.

No comments:

Post a Comment