JUMP EAT !!!

  • 0


Tempatnya memang nyelempit di antara bukit-bukit Teletubbies. Untuk sampai ke tempat tujuan, kita harus melompat (jump) turun ke bawah untuk kemudian memakan (eat) bekal piknik kita. Itulah nama lokasinya Jump Eat, dibaca Jampit. Tempat kemping ceria kami awal tahun 2015. :D

Jampit adalah nama daerah di kaki Gunung Ijen. Masuk kawasan Bondowoso tapi jalurnya lebih dekat bila ditempuh dari arah Banyuwangi. Jampit terkenal akan kopinya, bahkan kopi-kopi wilayah Jampit ini sudah banyak di ekspor ke mancanegara.

Berangkat sekitar jam 11 siang, saya beserta tim Pecinta Alam Remaja Genteng (PALAREGE) melaju mengendarai motor. Tujuan utama kemping ceria kali ini adalah mengantarkan Mbak Sari dan Mas Deni untuk melakukan foto prawedding bertema outdoor. Biasaa.. pecinta alam gitu looh.  Kenapa memilih Jampit? Pertama, Mbak Sari tidak suka pantai. Foto prewed di pantai sudah terlalu mainstream. Kedua, Mbak Sari tidak suka naik gunung (loh? katanya pecinta alam? :D), “Aku kan umel (lemu), munggah Ijen ae mudhun glundungan.”

Kami sudah hampir sampai di paltuding ketika hujan tiba-tiba deras. Karena beberapa dari kita tidak membawa jas hujan, akhirnya kita berhenti untuk berteduh. Di sebuah bangunan kosong yang dari sana kita bisa melihat pesisir pantai di Banyuwangi, ada banyak wisatawan Gunung Ijen yang ikut berteduh. Ramai sekali. Kemungkinan mereka adalah pendaki yang merayakan malam tahun baru di puncak Ijen.

Sebenarnya walaupun tidak saat hari libur, Ijen saat ini selalu ramai pengunjung. Dulu, ketika aku mulai mendaki ijen, sepeda motor yang terparkir bisa dihitung dengan jari. Untuk mendaki pun tidak ada tiket masuk. Warung yang menjual makanan hanya ada satu di dalam paltuding dan sebuah lagi tepat di depan paltuding. Sekarang Ijen sudah tampak seperti pasar yang di pindah. Tidak tahu apakah saya harus senang atau prihatin.

Khawatir akan kemalaman, kami melanjutkan perjalanan walaupun hujan masih mengguyur. Setelah melewati paltuding, kami lanjut menuju kawah wurung. Tempat menginap kita. Karena hujan, jalan tanah dan pasir menuju kawah wurung memadat dan licin. Beberapa kali ada jalan makadam yang penuh bebatuan. Ketika melewatinya kita seperti melompat-lompat di atas motor. Kanan kiri kami dipenuhi oleh gerombolan pohon kopi.

Keluar dari kebun kopi, sampailah kita di pinggir sebuah mangkuk yang di dasarnya berisi padang rumput yang menghampar, dengan bukit-bukit Teletubbiesnya yang timbul tenggelam. Kawah Wurung. Hijau ranum sejauh mata memandang. Merapi, puncak sejati Ijen dan kawah bulan sabit terlihat dari sini. Menjulang tinggi menubruk awan mendung. Dan Raung, belum pernah aku melihatnya sedekat ini. Dapur laharnya berasap. Katanya, kalau kita berada di kakinya, kita bisa merasakan getaran-getaran saat dia sedang batuk.

Kita turun ke bawah untuk mendirikan tenda di dasar kawah wurung. Pemandangan savanna yang ajaib dari atas ternyata lebih lengkap saat kita berada di bawah. Sapi dan kambing dilepas agar bebas merumput semaunya. Beberapa rumah gubuk berdiri di kaki bukit. Tempat peristirahatan si gembala sapi. Persis seperti di Desa Vrindavan dalam film kartun The Little Khrisna kata Bang Ahim.

Kita memilih kaki sebuah bukit yang lumayan datar dan ber-view ­cantik untuk tempat mendirikan tenda. Saat itu sekitar jam 4 sore dan hujan mulai datang lagi. Lekas-lekas kita mendirikan tenda untuk tempat tidur kami nanti malam.

Malam itu, kami hanya memasak mie instan menimbang kompor yang dibawa hanya satu dan mulut kami berdua belas sudah “ciap-ciap” seperti anak ayam minta cacing. Setelah makan yang tidak kenyang, mulailah sesi pemotretan kala senja oleh fotografer Inka dengan modelnya Mbak Sari dan Mas Deni. Sayang sekali cuaca mendung, sunset yang menjadi latar belakang bukit tempat menginap kami berwarna abu.

Malam hari di Kawah Wurung tidak sedingin di Paltuding. Mungkin karena biasanya aku tidak pernah membawa sleepingbag saat kemping di Ijen, sedang kali ini aku bawa sendiri. Entahlah. Malam itu para lelaki masih berada di luar tenda, membuat api unggun dan bersuara-suara berisik yang membikin aku ngikik. Aku tidur di sebelah Mbak sari. Aku bercerita tentang pengalaman kempingku di Arjuna dan Semeru. Kemudian aku mendengar ada suara orang bernyanyi membawa gitar di luar tenda. Hah? Ada pengamen? Semakin lama semakin keras. Suara laki-laki. Tiba-tiba tendaku berubah menjadi sebuah ruang kelas. Gilang, Ami’, dan Riska masuk ke dalam kelasku. Riska sekarang berambut pendek. Dia berdiri di ambang pintu dan melambai ke arahku. Aku mendekat. Oh, astaga.. Riska hanya memakai hot pan berwarna hitam. Perutnya yang sedang hamil dibiarkan telanjang dan dingin. Dia mengeluarkan suara-suara yang aku tidak tahu apa maksudnya.

Paginya, Inka bercerita kalau semalam ada seorang (yang dituduh penggembala sapi oleh Inka) yang melewati tenda sambil bernyanyi-nyanyi. Lalu Mas Deni melihat ada babi liar yang berkeliaran di sekitar tenda.

Mbak Sari dan aku mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Aku menawarkan diri untuk memasak nasi. Karena api kompor yang terlalu besar, jadilah nasi yang kumasak gosong sebelum sempat ku aduk. Akhirnya aku membuang bagian yang gosong dan memasak kembali bagian yang masih putih. Setelah kucoba menambahkan air kembali, nasi yang kumasak kembali gosong untuk yang kedua kalinya. Nasi berubah warna menjadi kuning, berbau sangit, dan jemek. Bang Ahim menyuruhku membuangnya dan ganti beras baru saja. Kali ini dia yang menawarkan diri untuk memasak, “Buru iki kemping, masak segone gosong. Sopo meneh lek gak karo Maya?” hahaha..

Seharusnya pagi ini kita melihat sunrise, tapi lagi-lagi langit yang menjadi latar belakang bukit tempat menginap kami berwarna abu. Hujan gerimis mulai jam 4 subuh masih belum reda hingga jam 6 pagi. Terpaksalah Mbak Sari dan Mas Deni harus mencari background lain untuk foto di undangan mereka. Dan pilihannya jatuh kepada…
eng,ing,eng….
tenda biru yang berhasil kupinjam dari Fian.
Yup, mereka akan melakukan sesi pemotretan di dalam tenda pinjaman lengkap dengan tas carrier, jaket, dan sepatu yang menjadi kostum pendukung. Benar-benar terlihat seperti promosi peralatan outdoor. Haha

Aku sendiri pergi ke puncak bukit, menikmati detik-detik kabut pagi yang berubah menjadi embun. Begitu rela. Sang kabut dilenyapkan oleh sinar matahari. Membuat karpet hijau yang luas dan kepulan asap Raung kembali terlihat.
Tiba-tiba aku rindu naik gunung bersama Alit.

Kawah Wurung dari atas bukit saat dini hari


No comments:

Post a Comment