Sebab Aku Menulis Surat Cerai

  • 2


Namaku Cici. Cici Paramida. Seperti nama penyanyi dangdut kondang yang naik daun sekitar tahun 90an. Ibu memberiku nama itu karena beliau adalah penggemar berat si pemilik nama asli Hamidah Idham. Kau percaya? Berarti kau tertipu. Namaku bukan Cici, aku hanya sering memakai namanya saat aku bermain rumah-rumahan bersama kawan, dulu. Sebenarnya bukan ibu yang jadi penggemarnya, tapi aku. Nama asliku Bunga. Bunga Citra Lestari. Kau boleh tidak percaya, karena aku memang berniat menipumu. hahaha

Panggil aku Bunga. Berjenis kelamin perempuan, dan baru saja selesai menulis surat perceraian. Bukan, bukan aku yang mau bercerai. Aku cuma wanita karir yang berjiwa seperti Bob Sadino. Seorang pemilik café, berumur 27 tahun, single, berpenampilan menarik, pandai memasak, dan jago bikin anak. Jika berminat, segera lamar ke rumah saya.

Ini adalah surat cerai milik seorang tetanggaku. Heran, dia yang mau cerai kenapa aku yang repot bikin suratnya. Tak apalah, biar dibilang setia kawan. Walau sebenarnya aku tidak yakin ini adalah perbuatan mulia yang seharusnya kulakukan. Dengan menulis ini, aku merasa meluluskan keinginan cerai dari kedua belah pihak, padahal aku sendiri tidak menginginkan pasangan itu bercerai. Aku tidak pernah mau melihat perceraian. Siapapun mereka. Kenal atau tidak.

Tetanggaku ini, sebut saja Rani, menikah dengan Asrul 10 tahun yang lalu. Rani menikah di usia 19 tahun sedang Asrul terpaut 3 tahun di atas Rani. Di usia yang masih belia itu, menurutku, mereka begitu berani menjalin komitmen sekali seumur hidup. Barangkali karena mereka sudah pacaran selama 5 tahun. Jika diakumulasi, kini cinta mereka sudah terjalin selama 15 tahun. Entah setan mana yang membisiki mereka untuk memutuskan bercerai. Padahal mereka telah ikut serta mensukseskan program keluarga berencana milik pemerintah dengan menghasilkan dua anak saja.

Diawali dengan Asrul yang ketahuan berselingkuh. Tidak tanggung-tanggung, selama 10 tahun dalam bahtera rumah tangga, ia sudah selingkuh sebanyak 7 kali. Asrul memang terkenal suka membaptis dirinya sebagai pecinta wanita. Tapi ya nggak gitu-gitu amat kali, Srul..
Sedang bagi Rani, Asrul adalah cinta pertamanya. Selama 15 tahun, tak pernah sekalipun Rani mencoba mencari lelaki lain yang lebih sempurna dari Asrul. Tapi naas, Asrul malah menyia-nyiakan kesetiaan Rani. Usut punya usut, rupanya Asrul kerap tidak puas dengan pelayanan Rani di rumah. 

Menurut curhatannya, Asrul menilai bahwa Rani sering tidak tanggap dan tidak mandiri. Apa-apa nunggu ada Asrul, tidak pernah berinisiatif sendiri. Contohnya, Asrul minta kopi, Rani minta antar beli bubuk. Juga menurut Asrul, Rani sering pilih kasih terhadap keluarganya. Setiap kali keluarga Rani mengadakan acara, Asrul wajib datang hingga habis acara. Sedang jika ganti keluarga Asrul yang memiliki hajatan, Rani selalu minta pulang lebih cepat. Alasannya si kecil rewel. Asrul sakit hati, kemudian selingkuh.

Coba kita cermati, bisakah masalah sepele seperti itu menjadi pemicu perselingkuhan? Andaikan bisa, tidakkah Asrul sebelum berselingkuh mencoba membahas hal ini dengan Rani agar Rani bisa introspeksi dan menjadi istri seperti harapan Asrul? Jika kenyataannya Asrul tidak pernah membicarakan hal ini secara baik-baik dengan Rani, artinya Asrul hanya mencari-cari alasan agar perselingkuhannya menjadi hal yang benar untuk dilakukan. Lantas, apa alasan Asrul berselingkuh sebenarnya?

Tujuh kali Asrul berselingkuh, baru kali ini sampai ada yang dinikahi secara sah tanpa sepengetahuan Rani. Ketika Rani tahu, pernikahan mereka sudah terjalin selama dua tahun dan sudah menghasilkan seorang anak berumur setahun. Sebagai istri yang merasa sudah baik, tentu Rani begitu sakit hati mengetahui suaminya berselingkuh diam-diam. Punya anak pula! Hati wanita mana yang rela?

Asrul yang tertangkap basah memiliki istri lagi hanya bisa diam saja. Entah merasa bersalah, atau hanya bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya. Aku rasa dia merasakan keduanya. Akhirnya Rani memaksa Asrul untuk menceraikan Wina, istri simpanannya, jika memang Asrul masih menginginkan rumah tangga mereka utuh. Asrul menyanggupi, ia berjanji akan segera menceraikan Wina.

Setelah Asrul menceraikan Wina, keluarga mereka kembali utuh. Hanya saja, Asrul sudah tidak tampak seperti Asrul yang dulu. Ia sering murung dan tidak pernah tersenyum. Layaknya seseorang yang dipisahkan jauh dari kekasih hatinya. Asrul gundah gulana, tidur tak nyenyak, makan tak nafsu. Barangkali ia rindu pada mantan kekasihnya dan juga pada anaknya. Tapi Asrul tak pernah mau mengakui, bahwa hatinya sudah terbagi. Bahwa kali ini perselingkuhannya bukan hanya berlandaskan nafsu, melainkan cinta. Tentu saja hal itu tak akan terdengar dari bibirnya. Bibirnya terlalu keras kepala untuk mendengarkan hati, tapi coba kau lihat matanya. Kau akan melihat samudra di sana, sedalam itulah rindunya yang tak bisa disampaikan.

Empat bulan kemudian, Asrul sudah tampak bugar. Seperti orang yang baru berhasil move on. Makannya kembali lahap, tidurnya sepulas bajing saat musim hibernasi. Hari-hari Asrul dan Rani telah membaik, mereka sering berpergian ke tempat-tempat wisata. Hingga sampai suatu hari, Rani mendapat kabar dari kakaknya bahwa kakaknya baru saja melihat Asrul pergi dengan Wina. Seketika itu Rani langsung mengorek informasi lebih dalam. Dia berlari kesana kemari demi mendapat berita yang akurat. Menangislah ia, selama ini Asrul berbohong. Ia tak pernah menceraikan Wina.
Sebab itulah akhirnya aku kini menulis surat cerai. Sebenarnya, aku saat ini sedang menulis dua surat cerai. Surat cerai yang ditujukan Rani untuk Asrul dan surat cerai yang ditujukan Asrul untuk Wina. 

Rani memintaku untuk membuat dua surat dan meminta Asrul memilih, surat mana yang mau ia tanda tangani. Sejujurnya, walaupun Rani sudah disakiti sedemikian sangat, ia masih mengharapkan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu tetap memilihnya. Tanpa mempedulikan hati lelakinya yang tinggal separuh, atau bahkan sudah tidak disisakan untuknya. Bersama Wina, Asrul adalah air. Ia lunak dan sabar menembus bebatuan untuk tetap mengalir. Tapi bersama Rani, Asrul adalah batu. Ia akan menghantam jika ada yang menghalangi. Ah, Rani.. tidakkah kau sadar, bahwa cintamu sudah bertepuk sebelah tangan? Dan kau masih saja tetap memaksa. Bukan berarti aku membela Asrul, tapi hati sudah terlanjur dipilih, kini tinggal menunggu untuk dibuatkan jalan ceritanya. Manusia boleh memilih menikahi siapapun, tapi manusia tidak dapat memutuskan untuk mencintai siapa.

Kau boleh saja benar Rani, untuk bersetia pada komitmen. Komitmenlah yang melahirkan kompromi. Yang akhirnya membuatmu bertahan dengan perih tak berkesudahan. Kau tau Rani, sebab itulah aku takut untuk berkomitmen. Aku takut kepalaku terlalu keras untuk bisa menerima kompromi. Terutama masalah hati.

Lalu bagaimana dengan Asrul? Bolehkah kita menyalahkan Asrul? Apa salahnya? Dia kan hanya jatuh cinta. Di saat yang tidak tepat. Disitulah letak kesalahanmu, Srul.  Kalau boleh saran, jika kau jatuh cinta pada dua orang pada saat yang sama, pilihlah yang kedua, karena jika kamu benar-benar cinta pada yang pertama, kau tidak akan jatuh pada yang kedua. Mengenai komitmen, sudah terlambat, Srul. Kamu sudah melanggarnya saat awal kau jatuh cinta pada Wina. Mungkin saat itu kau tidak pernah berencana untuk mencintai Wina, tapi sangat jelas sekali kau punya kesempatan untuk tidak menumbuhkan benih cintamu. Jika kamu berat meninggalkan Rani, maka berlakulah adil pada keduanya, Srul. Jangan menjadi air bagi Wina lantas menjadi batu bagi Rani.

Kini aku hanya berharap surat cerai ini tidak pernah ditandatangani oleh siapapun. Semoga kau ikhlas, Ran. Memang mudah berbicara, tapi berlaku rendah itu memang akan jauh lebih mendamaikan.

2 comments:

  1. manusia boleh memilih menikahi siapapun, tapi manusia tidak dapat memutuskan mencintai siapa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. cuma Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia nya..
      ouch.... :D

      Delete